LEMBAGA WAKAF
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
Dosen Pengampu;
Firman Setiawan, S.HI,. M.EI
Disusun Oleh;
Bayu Firnanda
150721100078
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
FAKULTAS KEISLAMAN
EKONOMI SYARIAH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Di Indonesia bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang
selama ini baru menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No. 28
tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya
sedikit yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf
UII, Pondok Modern Gontor, dan sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari
agama Islam telah diterima menjadi hukum adat di Indonesia. Di samping itu, di
Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tidak
bergerak.
Dalam perjalanan sejarah, wakaf terus berkembang dan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang reelevan,
seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan intelektual,
dan lain-lain. Khusus di indonesia, permasalahan wakaf menjadi perhatian yang
cukup serius dengaan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf dan PP No. 242 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Pada saat ini, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup
tajam. Perubahan paradigma itu, terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan
sebagai instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
dilakukan pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal
dengaan wakaf produktif. Sebelumnya, jika kita mendengar kata wakaf, identik
dengan wakaf untuk masjid, mushalla, kuburan atau sekolah yang menjadi wakaf
tidak produktif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
Dalam peristilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ahli adalah menahan
barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan,
disewakan, dan sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai
kehendak wakif tanpa imbalan. Sebagai suatu istilah dalam islam, wakaf
diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan
menyedehkan manfaat atau faedahnya.[1]
Secara etimologis, waqaf adalah penhanan (habsu). Terminologi waqaf
adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi fisik, pada
alokasi yang legal dan telah wujud, dengan cara membekukan tasarruf pada
fisiknya.[2]
B.
SEJARAH
dan PERKEMBANGAN
1.
Masa
Rasulullah SAW.[3]
Wakaf merupakan salah sektor voluntary yang sangat berperan penting
dalam sejarah islam. Pengelolaan harta wakaf dilakukan perseorangan /
nonpemerintah, Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri atau oleh
pemerintah seperti wakaf masjid Dar al-Hijr. Hal terpenting esensi tujuan wakif
terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh mauquf alaih.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah Khaibar.
Lalu, Umar bin Khattab menghadap Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, saya
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta
lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk tentang
apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.” Rasulullah menjawab,”Jika
engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan.”
Selanjutnya,
umar menyedekahkan dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan.
Umar menyalurkan hasil tanah itu untuk orang-orang fakir, ahli familinya,
membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang
kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Penguasa wakaf tunai boleh
menggunakan hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang wajar. Wakaf Umar bin
Khattab menurut catatan sejarah merupakan wakaf pertama dalam Islam.
Sebagian
ulama lain mengatakan bahwa Rasulullah SAW. adalah orang yang pertama kali
melaksanakan wakaf, yaitu dengan mewakafkan sebidang tanah yang dimanfaatkan
untuk dibangun masjid. Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan
oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “ kami bertanya
tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang muhajirin mengatakan adalah wakaf
Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.”
Menurut
hadits riwayat AN-Nasa’i dan At-Turmudzi dari Usman, bahwa Rasulullah SAW.
pernah datang ke Madinah, sedangkan di Madinah ketika itu tidak ada air tawar,
kecuali sumur rumah. Rasulullah bersabda, “Siapakah yang mau membeli sumur
rumah itu lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama-sama
timba-timba kaum muslim lainnya yang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih
baik daripada sumur itu kelak di surga.” Usman membeli sumur itu dari tulang
punggung hartanya. Selanjutnya, sumur tersebut diserahkan kepada penduduk
Madinah untuk kepentingan hidup mereka. Usman pun tetao memanfaatkan airnya untuk
kepentingan sehari-hari. Pemberian untuk kepentingan umum, sebagaimana dimaksud
dalam hadits tersebut, adalah wakaf. Dalam hadits lain diceritakan bahwa pada
masa Rasulullah SAW. Bani Najjar membangun bersama-sama sebuah masjid dan
memberikannya untuk kepentingan umum.
2.
Masa
Dinasti Islam
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa Dinasti Umayah dan
Dinasti Abbasiyah, ketika semua orang melaksanakan wakaf. Peruntukan wakaf pada
saat itu tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin, tetapi menjadi modal
untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji
para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para pelajar. Antusiasme
masyarakat pada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor membangun solidaritas sosial dan ekonomi
msyarakat.
Pada
masa Bani Abbasiyah, pengelolaan wakaf dilakukan oleh baitul mal yang dirancang
hanya untuk menangani wakaf dengan menunjuk qadhi khusus untuk
mengembangkannya. Dana hasil pengelolaan aset wakaf diantaranya dipergunakan
untuk membangun semua pembanguna pusat seni yang memiliki pengaruh terhadap
arsitektur Islam, terutama arsitektur masjid, sekolah, dan rumah sakit. Hal ini
dipengaruhi oleh pilitical will pemerintah yang sangat mendukung peran wakaf
dalam perekonomian.
Pada
masa Dinasti Umayah, pada masa Khalifah Hisyam bin Abd Malik, yang menjadi
qadhi (hakim) Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadramiy. Ia sangat perhatian dan
tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri
sebagai lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang
pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh
negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di
Basrah. Sejak itulah, pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman
yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang
membutuhkan.
Pada
masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, yaitu
hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara
dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah
Mesir, ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara kepada yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara
fiqh, hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda pendapat diantara para
ulama. Wakaf telah menjadi sarana bagi Dinasti Ayyubiyah untuk kepentingan
politik dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni danmenggusur mazhab Syi’ah yang
dibawa oleh dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Fathimiyah.
Lembaga
pengelola wakaf semakin mengalami perkembangan pada zaman Bani Mamluk, pada
saat itu harta wakaf telah dikelola secara lebih teratur dengan membagi
pengelola menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a.
Abbas,
terdiri atas perkebunan yang luas di Mesir dan hasilnya untuk memakmurkan
masjid.
b.
Awqaf
hukumiyah, yang terdiri atas tanah-tanah perkotaan di Mesir dan Kahira yang
dimanfaatkan untuk pengembangan kota Mekah dan Madinah.
c.
Awqaf
ahliyah atau wakaf keluarga, terdiri atas wakaf yang berasal dari keluarga atau
keturunan mauquf alaih dengan menggunakan hasil tanahnya sesuai kehendak wakif.
Perkembangan berikutnya, manfaat wakaf telah menjadi tulang
punggung dalam roda ekonomi. Pada masa Dinasti Mamluk, wakaf mendapat perhatian
khusus meskipun tidak diketahui secara pasti awal mula disahkan Undang-Undang
Wakaf. Menurut berita dan berkas yang
terhimpun bahawa perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mmaluk dimulai sejak
pemerintahan Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M). Dengan
undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih hakim dari empat mazhab Sunni.
Pada masa Al-Dzahir Bibers, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
pendapatan negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada kepada
orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (Mekah dan
Madinah), dan kepentingan masyarakat umum.
Sejak abad lima belas, Kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas
wilayah kekuasaannya sehingga Turi dapat menguasai sebagian besar wilayah
negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, di anataranya peraturan tentang
perwakafan. Undang-undang yang dikeluarkan pada Dinasti Utsmani di antaranyaa
peraturan mengenai pembukuan pelaksanaan wakaf yang dikeluarkan pada tanggal 19
Jumadil Akhir 1280 Hijriah. Undang-undang tersebut mengatur pencatatan wakaf,
sertifikasi wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi
administrasi dan perundang-undangan.
3.
Wakaf
di Indonesia
Pada
waktu pemerintah Hindia Belanda, hukum perwakafan telah berlaku dalam
masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam. Akan tetapi, administrasi
oerwakafan tanah baru dimulai sejak tahu 1905 dengan dimulainya pendaftaran
tanah wakaf berdasarkan surat edaran sebagai berikut:
a.
Surat
edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1905 (Bijblad 1905, No. 6169),
yang mewajibkan kepada para Bupati untuk membuat daftar yang memuat segala
keterangan untuk benda-benda yang bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari
peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.
b.
Surat
edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 April 1931 (Bijblad, 1934 No. 13390),
yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelesaikan perkara
jika terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, atas permintaan para pihak yang
bersengketa.
c.
Surat
edaran Sekretaris Gubernementanggal 27 Mei 1936 (Bijblad No. 13480), berisi tata
cara para perwakafan, yaitu perlunya perwakafan diketahui oleh Bupati untuk
diregistrasi dan diteliti tentang keabsahannya.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945,
disusun Undang-Undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tanggal 26 September 1960
yang mengandung ketentuan berikut:
a.
Berdasarkan
pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan-peraturan
perwakafan Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1958 telah
ditetapkan petunjuk-petunjuk mengenai perwakafan oleh Departemen Agama dengan
dikeluarkannya Surat Edaran No. 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah pada
tanggal 8Oktober 1956.
b.
Berdasarkan
surat keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama No. 19.19/22/37-7 tahun 1959
dan SK. 62/Ka/1959 ditetapkan pengesahan perwakafan tanah milik dialihkan
kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan.
c.
Di
dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960, pada bagian XL, tertera bahwa untuk
keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat (3)) ditentukan perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d.
Pada
tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang
perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat (3) UU No.
5 tahun 1960. PP ini mengatur tata cara perwakafan tanah milik dalam pengertian
hak milik yang baru, serta tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi
sebelum PP ini ditetapkan.
Di Indonesia bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang
selama ini baru menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No. 28
tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya
sedikit yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf
UII, Pondok Modern Gontor, dan sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari
agama Islam telah diterima menjadi hukum adat di Indonesia. Di samping itu, di
Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tidak
bergerak.
Dalam perjalanan sejarah, wakaf terus berkembang dan selalu
berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang
reelevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan
intelektual, dan lain-lain. Khusus di indonesia, permasalahan wakaf menjadi
perhatian yang cukup serius dengaan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun
2004 tentang wakaf dan PP No. 242 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Pada saat ini, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup
tajam. Perubahan paradigma itu, terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan
sebagai instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
dilakukan pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal
dengaan wakaf produktif. Sebelumnya, jika kita mendengar kata wakaf, identik
dengan wakaf untuk masjid, mushalla, kuburan atau sekolah yang menjadi wakaf
tidak produktif.
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama. Pertama,
pola manajemen wakaf harus terintegrasi, dana wakaf dapat dialokasikan untuk
program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terkandung di
dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi
diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional. Ketiga, asas
transparansi dan tanggung jawab.
C.
Wakaf
Tunai
Wakaf tunai
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat
berharga. Wakaf tunai ini termasuk wakaf produktif, yaitu pemberian dalam bentuk
sesuatu yang dapat diusahakan atau digulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan
umat[4].
Dimana Imam
Hanifah memberikan alternatif dengan menginvestasikannya sebagai modal usaha
malalui cara mudharabah atau mubada’ah dan hasilnya dapat
disedekahkan kaepada mauquf alaih. Imam Hambali pun memperbolehkan
berwakaf dalam bentuk uang tunai, baik dirham maupun dinar[5].
Majelis Ulama
Indonesia melalui fatwanya tanggal 11 Mei 2002 mengizinkan wakaf uang dengan
ketentuan sebagai berikut:
1.
Wakaf
uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga orang, atau
badan hukum dalam bentuk tunai.
2.
Suatu
surat berharga
3.
Hukunmnya
jaiz (boleh)
4.
Wakaf
uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-halyang dibenarkan oleh syar’i
5.
Nilai
pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan atau diwariskan.
Sedangkan tujuan wakaf uang adalah sebagai berikut:
1.
Menggalang
tabungan social dan mentransformasikan tabungan social menjadi modal social
serta mengembangkan pasar modal syariah.
2.
Meningkatkan
investasi sosial.
3.
Menciptakan
kesadaran diantara orang-orang kaya/berkecukupan mengenai tanggung jawab social
mereka terhadap masyarakat sekitar.[6]
4.
Menyisihkan
sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan kepada fakir
miskin dan anak-anak sebagai generasi penerus
5.
Menciptakan
integritas antara keamanan social dan kedamaian social serta meningkatkan
kesejahteraan umat.[7]
Secara khusus
wakaf benda bergerak berupa uang diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31 UU Nomor
41 tahun 2004.
Ketentuan
mengenai wakaf uang adalah:
1.
Wakif
dibolehkan mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan
syariah yang ditunjuk oleh menteri.
2.
Wakaf
uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan
secara tertulis.
3.
Wakaf
diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
4.
Sertifikat
wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada
wakif daan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
5.
Lembaga
keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang
kepada menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat
wakaf uang.[8]
D. Wakaf Uang dan Pemberdayaan Masyarakat.
Wakaf merupakan
ibadah yang berdimensi ganda, selain menggapai keridhaan dan pahala dari Allah,
wakaf merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Wujud dari kepentingan sosial
tersebut dapat berupa pemerdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan,
kesehatan, dan lain-lain.
Berdasarkan UU
No. 41 tahun 2004, penerimaan dan
pengelolaan wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang berupa uang kepada nazhir, tetapi
harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerimaan Wakaf Uang (PWU). Nazhir
bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan satu syarat: nilai
nominal uang diinvestasikan tidak boleh berkurang. Adapun hasil investasi
dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat
(minimal 90 %).
Berdasarkan
amandemen UUD 1945, tersebut secara eksplisit bahwa negara harus mampu
memperdayakan masyarakat. Terminologi pemberdayaan adalah membantu masyarakat
agar mampu menjadi mandiri dalam menyejahterahkan dirinya sendiri. Dimana wakaf
uang sebagai gerakan baru dalam dunia perwakafan, terutama di Indonesia mampu
mengambil peranan yang signifikan dalam merancang program-program pemberdayaan
masyarakat.
Program
pemberdayaan masyarkat dapat dilakukan dengan sistem perwakafan, sesuai dengan
UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah mengamanatkan Badan Wakaf
Indonesia agar mengelola harta benda wakaf yang berskala nasional dan
internasional. Dalam perwakafan, pihak wakif dapat menentukan peruntukan hasil pengelolaan
harta wakaf (mauquf alaih).
Seorang wakif dapat menetapkan jenis peruntukan harta wakaf,
misalnya untuk pemberdayaan komunitas secara integral, Seperti pemberdayaan
pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi suatu komunitas. Bentuk pemerdayaan
pendidikan misalnya dapat berupa pendirian sekolah gratis dengan kualitas mutu
terjamin atau bantuan uang sekolah dan peralatan sekolah dengan memerhatikan
kesejahteraan guru. Aktivitas pemerdayaan ekonomi dapat berupa bantuan Dana
bergulir dengan skema qardhan hasan bagi pengusaha kecil dengan diikuti
pembinaan terhadapnya berupa program pelatihan dan pembinaan usaha, bantuan pemasaran
serta peningkatan mutu produk.[9]
E. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
BWI adalah
lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam
melaksankan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, serta
bertanggung jawab kepada masyarakat.
Dalam
kepengurusan, BWI terdiri atas badan pelaksana dan dewan pertimbangan, dan
masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh para anggota. Dimana jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia
terdiri atas paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang yang berasal
dari unsur masyarakat (UU No. 41/ 2004, Pasal 51-53). Keanggotaan BWI diangkat
untuk masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali
jabatan. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan
kepada presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia (UU
No. 41/2004, Pasal 55-57).
Tugas dan Wewenang
UU No. 41/2004
Pasal 49 ayat 1, Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut:
a.
Melakukan
pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
b.
Melakukan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional.
c.
Memberikan
persetujuan dan izin atas perubahan peruntukkan dan status harta benda wakaf.
d.
Memberhentikan
dan menggantikan nadzir.
e.
Memberikan
persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
f.
Memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan.
Pada ayat 2, bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BWI dapat bekerja
sama dengan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, organisasi
msyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lin yang dianggap perlu.
Dalam melaksanakan tugas-tugas itu, BWI memerhatikan saran dan pertimbangan
menteri dan MUI, yang tercantum dalam pasal 50.
1.
Strategi
Adapun strategi
untuk merealisasikan visi dan misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai
berikut;
a.
Meningkatkan
kompotensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia, baik nasional maupun
internasional.
b.
Membuat
peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.
c.
Meningkatkan
kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.
d.
Meningkatkan
profesionalitas dan kemanahan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan harta
wakaf.
e.
Mengoordinasi
dan membina seluruh nadzir wakaf.
f.
Menertibkan
pengadministrasian harta benda wakaf.
g.
Mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf.
h.
Menghimpun,
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan
internasional.
Untuk
merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 devisi, yakni
Devisi Pembinaan Nazhir, Devisi Pengelolaan dan Pemerdayaan Wakaf, Divisi
Kelembagaan, Devisi Hubungan Masyarakat, dan Devisi Penelitian dan
Pengembangan. [10]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam
peristilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ahli adalah menahan
barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan,
disewakan, dan sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai
kehendak wakif tanpa imbalan. Sebagai suatu istilah dalam islam, wakaf
diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedehkan
manfaat atau faedahnya.
Wakaf merupakan salah sektor voluntary yang sangat berperan penting
dalam sejarah islam. Pengelolaan harta wakaf dilakukan perseorangan /
nonpemerintah, Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri atau oleh
pemerintah seperti wakaf masjid Dar al-Hijr. Hal terpenting esensi tujuan wakif
terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh mauquf alaih.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah Khaibar.
Lalu, Umar bin Khattab menghadap Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, saya
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta
lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk tentang
apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.” Rasulullah menjawab,”Jika
engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan.”
DAFTAR
PUSTAKA
IlfiNur
Diana, Hadis-hadisEkonomi, (Malang: UIN Maliki Press, 2012)
Kementerian
Agama Republik Indonesia DrektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam
DirektoratPemberdayaanWakaf, PanduanPengelolaanWakafTunai, (Jakarta:
DirekturPemerdayaanWakaf, 2013), 2-3
Mardani, AspekHukumLembagaKeuanganSyariah
di Indonesia, (Jakarta:Prendamedia Group, 2015)
Mustafa
Edwin Nasution, PengenalanEksklusifEkonomi Islam, (Jakarta:Prenada Media
Group,2006)
Sarip
Muslim, AkuntansiKeuanganSyariahTeoridanPraktik, (Bandung: CV
PustakaSetia, 2015)
NurRianto
al-Arif, LembagaKeuanganSyariah: UntukKajianTeoritisPraktisi, (Bandung:
CV PustakaSetia, 2012)
AdriSoemitra, Bank Dan LembagaKeuanganSyariah, (
Jakarta: Prenadamedia Group, 2009)
[1]Lembaga keuangan syariah
[2] Metodologi fiqih muamalah
[4]IlfiNur Diana, Hadis-hadisEkonomi, (Malang: UIN Maliki Press,
2012), 105-106
[5]Kementerian Agama Republik Indonesia
DrektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam DirektoratPemberdayaanWakaf, PanduanPengelolaanWakafTunai,
(Jakarta: DirekturPemerdayaanWakaf, 2013), 2-3
[6]Mardani, AspekHukumLembagaKeuanganSyariah di Indonesia, (Jakarta:Prendamedia
Group, 2015), 304
[7]Mustafa Edwin Nasution, PengenalanEksklusifEkonomi Islam, (Jakarta:
Prenada Media Group,2006), 217.
[8]Sarip Muslim, AkuntansiKeuanganSyariahTeoridanPraktik,(Bandung:
CV PustakaSetia, 2015), 391.
[9]NurRianto al-Arif, LembagaKeuanganSyariah:
UntukKajianTeoritisPraktisi, (Bandung: CV PustakaSetia, 2012), 421.
No comments:
Post a Comment