Sunday, September 23, 2018

Makalah lembaga keuangan syariah non bank


LEMBAGA WAKAF

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK

Dosen Pengampu;
Firman Setiawan, S.HI,. M.EI

 





Disusun Oleh;
Bayu Firnanda
150721100078
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
FAKULTAS KEISLAMAN
EKONOMI SYARIAH
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.             Latar Belakang
Di Indonesia bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang selama ini baru menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No. 28 tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya sedikit yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya  Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, Pondok Modern Gontor, dan sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam telah diterima menjadi hukum adat di Indonesia. Di samping itu, di Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tidak bergerak.
Dalam perjalanan sejarah, wakaf terus berkembang dan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang reelevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan intelektual, dan lain-lain. Khusus di indonesia, permasalahan wakaf menjadi perhatian yang cukup serius dengaan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 242 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Pada saat ini, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu, terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal dengaan wakaf produktif. Sebelumnya, jika kita mendengar kata wakaf, identik dengan wakaf untuk masjid, mushalla, kuburan atau sekolah yang menjadi wakaf tidak produktif.





BAB II
PEMBAHASAN

A.           DEFINISI
Dalam peristilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ahli adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai kehendak wakif tanpa imbalan. Sebagai suatu istilah dalam islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedehkan manfaat atau faedahnya.[1]
Secara etimologis, waqaf adalah penhanan (habsu). Terminologi waqaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi fisik, pada alokasi yang legal dan telah wujud, dengan cara membekukan tasarruf pada fisiknya.[2]

B.            SEJARAH dan PERKEMBANGAN
1.             Masa Rasulullah SAW.[3]
Wakaf merupakan salah sektor voluntary yang sangat berperan penting dalam sejarah islam. Pengelolaan harta wakaf dilakukan perseorangan / nonpemerintah, Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri atau oleh pemerintah seperti wakaf masjid Dar al-Hijr. Hal terpenting esensi tujuan wakif terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh mauquf alaih.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah Khaibar. Lalu, Umar bin Khattab menghadap Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.” Rasulullah menjawab,”Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan.”
Selanjutnya, umar menyedekahkan dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar menyalurkan hasil tanah itu untuk orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Penguasa wakaf tunai boleh menggunakan hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang wajar. Wakaf Umar bin Khattab menurut catatan sejarah merupakan wakaf pertama dalam Islam.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa Rasulullah SAW. adalah orang yang pertama kali melaksanakan wakaf, yaitu dengan mewakafkan sebidang tanah yang dimanfaatkan untuk dibangun masjid. Pendapat ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “ kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.”
Menurut hadits riwayat AN-Nasa’i dan At-Turmudzi dari Usman, bahwa Rasulullah SAW. pernah datang ke Madinah, sedangkan di Madinah ketika itu tidak ada air tawar, kecuali sumur rumah. Rasulullah bersabda, “Siapakah yang mau membeli sumur rumah itu lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama-sama timba-timba kaum muslim lainnya yang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada sumur itu kelak di surga.” Usman membeli sumur itu dari tulang punggung hartanya. Selanjutnya, sumur tersebut diserahkan kepada penduduk Madinah untuk kepentingan hidup mereka. Usman pun tetao memanfaatkan airnya untuk kepentingan sehari-hari. Pemberian untuk kepentingan umum, sebagaimana dimaksud dalam hadits tersebut, adalah wakaf. Dalam hadits lain diceritakan bahwa pada masa Rasulullah SAW. Bani Najjar membangun bersama-sama sebuah masjid dan memberikannya untuk kepentingan umum.
2.             Masa Dinasti Islam
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, ketika semua orang melaksanakan wakaf. Peruntukan wakaf pada saat itu tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para pelajar. Antusiasme masyarakat pada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor membangun solidaritas sosial dan ekonomi msyarakat.
Pada masa Bani Abbasiyah, pengelolaan wakaf dilakukan oleh baitul mal yang dirancang hanya untuk menangani wakaf dengan menunjuk qadhi khusus untuk mengembangkannya. Dana hasil pengelolaan aset wakaf diantaranya dipergunakan untuk membangun semua pembanguna pusat seni yang memiliki pengaruh terhadap arsitektur Islam, terutama arsitektur masjid, sekolah, dan rumah sakit. Hal ini dipengaruhi oleh pilitical will pemerintah yang sangat mendukung peran wakaf dalam perekonomian.
Pada masa Dinasti Umayah, pada masa Khalifah Hisyam bin Abd Malik, yang menjadi qadhi (hakim) Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadramiy. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagai lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah, pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, yaitu hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara kepada yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara fiqh, hukum mewakafkan harta baitul mal masih berbeda pendapat diantara para ulama. Wakaf telah menjadi sarana bagi Dinasti Ayyubiyah untuk kepentingan politik dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni danmenggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Fathimiyah.
Lembaga pengelola wakaf semakin mengalami perkembangan pada zaman Bani Mamluk, pada saat itu harta wakaf telah dikelola secara lebih teratur dengan membagi pengelola menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
a.       Abbas, terdiri atas perkebunan yang luas di Mesir dan hasilnya untuk memakmurkan masjid.
b.      Awqaf hukumiyah, yang terdiri atas tanah-tanah perkotaan di Mesir dan Kahira yang dimanfaatkan untuk pengembangan kota Mekah dan Madinah.
c.       Awqaf ahliyah atau wakaf keluarga, terdiri atas wakaf yang berasal dari keluarga atau keturunan mauquf alaih dengan menggunakan hasil tanahnya sesuai kehendak wakif.
Perkembangan berikutnya, manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi. Pada masa Dinasti Mamluk, wakaf mendapat perhatian khusus meskipun tidak diketahui secara pasti awal mula disahkan Undang-Undang Wakaf. Menurut  berita dan berkas yang terhimpun bahawa perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mmaluk dimulai sejak pemerintahan Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M). Dengan undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih hakim dari empat mazhab Sunni. Pada masa Al-Dzahir Bibers, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pendapatan negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (Mekah dan Madinah), dan kepentingan masyarakat umum.
Sejak abad lima belas, Kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya sehingga Turi dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh Dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, di anataranya peraturan tentang perwakafan. Undang-undang yang dikeluarkan pada Dinasti Utsmani di antaranyaa peraturan mengenai pembukuan pelaksanaan wakaf yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriah. Undang-undang tersebut mengatur pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan.
3.      Wakaf di Indonesia
Pada waktu pemerintah Hindia Belanda, hukum perwakafan telah berlaku dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam. Akan tetapi, administrasi oerwakafan tanah baru dimulai sejak tahu 1905 dengan dimulainya pendaftaran tanah wakaf berdasarkan surat edaran sebagai berikut:
a.       Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1905 (Bijblad 1905, No. 6169), yang mewajibkan kepada para Bupati untuk membuat daftar yang memuat segala keterangan untuk benda-benda yang bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain.
b.      Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 April 1931 (Bijblad, 1934 No. 13390), yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelesaikan perkara jika terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, atas permintaan para pihak yang bersengketa.
c.       Surat edaran Sekretaris Gubernementanggal 27 Mei 1936 (Bijblad No. 13480), berisi tata cara para perwakafan, yaitu perlunya perwakafan diketahui oleh Bupati untuk diregistrasi dan diteliti tentang keabsahannya.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, disusun Undang-Undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tanggal 26 September 1960 yang mengandung ketentuan berikut:
a.       Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan-peraturan perwakafan Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1958 telah ditetapkan petunjuk-petunjuk mengenai perwakafan oleh Departemen Agama dengan dikeluarkannya Surat Edaran No. 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah pada tanggal 8Oktober 1956.
b.      Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama No. 19.19/22/37-7 tahun 1959 dan SK. 62/Ka/1959 ditetapkan pengesahan perwakafan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan.
c.       Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960, pada bagian XL, tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat (3)) ditentukan perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
d.      Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960. PP ini mengatur tata cara perwakafan tanah milik dalam pengertian hak milik yang baru, serta tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum PP ini ditetapkan.
Di Indonesia bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang selama ini baru menetapkan objek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No. 28 tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya sedikit yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya  Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, Pondok Modern Gontor, dan sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam telah diterima menjadi hukum adat di Indonesia. Di samping itu, di Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tidak bergerak.
Dalam perjalanan sejarah, wakaf terus berkembang dan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi yang reelevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan intelektual, dan lain-lain. Khusus di indonesia, permasalahan wakaf menjadi perhatian yang cukup serius dengaan diterbitkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 242 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Pada saat ini, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu, terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal dengaan wakaf produktif. Sebelumnya, jika kita mendengar kata wakaf, identik dengan wakaf untuk masjid, mushalla, kuburan atau sekolah yang menjadi wakaf tidak produktif.
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama. Pertama, pola manajemen wakaf harus terintegrasi, dana wakaf dapat dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terkandung di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional. Ketiga, asas transparansi dan tanggung jawab.
C.           Wakaf Tunai
Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Wakaf tunai ini termasuk wakaf produktif, yaitu pemberian dalam bentuk sesuatu yang dapat diusahakan atau digulirkan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat[4].
Dimana Imam Hanifah memberikan alternatif dengan menginvestasikannya sebagai modal usaha malalui cara mudharabah atau mubada’ah dan hasilnya dapat disedekahkan kaepada mauquf alaih. Imam Hambali pun memperbolehkan berwakaf dalam bentuk uang tunai, baik dirham maupun dinar[5].
Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya tanggal 11 Mei 2002 mengizinkan wakaf uang dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga orang, atau badan hukum dalam bentuk tunai.
2.      Suatu surat berharga
3.      Hukunmnya jaiz (boleh)
4.      Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-halyang dibenarkan oleh syar’i
5.      Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Sedangkan tujuan wakaf uang adalah sebagai berikut:
1.      Menggalang tabungan social dan mentransformasikan tabungan social menjadi modal social serta mengembangkan pasar modal syariah.
2.      Meningkatkan investasi sosial.
3.      Menciptakan kesadaran diantara orang-orang kaya/berkecukupan mengenai tanggung jawab social mereka terhadap masyarakat sekitar.[6]
4.      Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak sebagai generasi penerus
5.      Menciptakan integritas antara keamanan social dan kedamaian social serta meningkatkan kesejahteraan umat.[7]
Secara khusus wakaf benda bergerak berupa uang diatur dalam pasal 28 sampai pasal 31 UU Nomor 41 tahun 2004.
Ketentuan mengenai wakaf uang adalah:
1.      Wakif dibolehkan mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.
2.      Wakaf uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.
3.      Wakaf diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
4.      Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif daan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
5.      Lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat wakaf uang.[8]
D. Wakaf Uang dan Pemberdayaan Masyarakat.
Wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda, selain menggapai keridhaan dan pahala dari Allah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Wujud dari kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemerdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, penerimaan  dan pengelolaan wakaf uang, wakif  tidak boleh langsung menyerahkan mauquf  yang berupa uang kepada nazhir, tetapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerimaan Wakaf Uang (PWU). Nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan satu syarat: nilai nominal uang diinvestasikan tidak boleh berkurang. Adapun hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90 %).
Berdasarkan amandemen UUD 1945, tersebut secara eksplisit bahwa negara harus mampu memperdayakan masyarakat. Terminologi pemberdayaan adalah membantu masyarakat agar mampu menjadi mandiri dalam menyejahterahkan dirinya sendiri. Dimana wakaf uang sebagai gerakan baru dalam dunia perwakafan, terutama di Indonesia mampu mengambil peranan yang signifikan dalam merancang program-program pemberdayaan masyarakat.
Program pemberdayaan masyarkat dapat dilakukan dengan sistem perwakafan, sesuai dengan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah mengamanatkan Badan Wakaf Indonesia agar mengelola harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional. Dalam perwakafan, pihak wakif  dapat menentukan peruntukan hasil pengelolaan harta wakaf (mauquf alaih).
Seorang wakif dapat menetapkan jenis peruntukan harta wakaf, misalnya untuk pemberdayaan komunitas secara integral, Seperti pemberdayaan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi suatu komunitas. Bentuk pemerdayaan pendidikan misalnya dapat berupa pendirian sekolah gratis dengan kualitas mutu terjamin atau bantuan uang sekolah dan peralatan sekolah dengan memerhatikan kesejahteraan guru. Aktivitas pemerdayaan ekonomi dapat berupa bantuan Dana bergulir dengan skema qardhan hasan bagi pengusaha kecil dengan diikuti pembinaan terhadapnya berupa program pelatihan dan pembinaan usaha, bantuan pemasaran serta peningkatan mutu produk.[9]
E. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksankan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas badan pelaksana dan dewan pertimbangan, dan masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Dimana jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri atas paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang yang berasal dari unsur masyarakat (UU No. 41/ 2004, Pasal 51-53). Keanggotaan BWI diangkat untuk masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali jabatan. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia (UU No. 41/2004, Pasal 55-57).
Tugas dan Wewenang
UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1, Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.       Melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
b.      Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
c.       Memberikan persetujuan dan izin atas perubahan peruntukkan dan status harta benda wakaf.
d.      Memberhentikan dan menggantikan nadzir.
e.       Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
f.       Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Pada ayat 2, bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BWI dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, organisasi msyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lin yang dianggap perlu. Dalam melaksanakan tugas-tugas itu, BWI memerhatikan saran dan pertimbangan menteri dan MUI, yang tercantum dalam pasal 50.
1.    Strategi
Adapun strategi untuk merealisasikan visi dan misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut;
a.       Meningkatkan kompotensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional.
b.      Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.
c.       Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.
d.      Meningkatkan profesionalitas dan kemanahan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf.
e.       Mengoordinasi dan membina seluruh nadzir wakaf.
f.       Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf.
g.      Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
h.      Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.
Untuk merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 devisi, yakni Devisi Pembinaan Nazhir, Devisi Pengelolaan dan Pemerdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Devisi Hubungan Masyarakat, dan Devisi Penelitian dan Pengembangan. [10]


BAB III
PENUTUP
1.             Kesimpulan
Dalam peristilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ahli adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai kehendak wakif tanpa imbalan. Sebagai suatu istilah dalam islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedehkan manfaat atau faedahnya.
Wakaf merupakan salah sektor voluntary yang sangat berperan penting dalam sejarah islam. Pengelolaan harta wakaf dilakukan perseorangan / nonpemerintah, Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri atau oleh pemerintah seperti wakaf masjid Dar al-Hijr. Hal terpenting esensi tujuan wakif terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh mauquf alaih.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah Khaibar. Lalu, Umar bin Khattab menghadap Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.” Rasulullah menjawab,”Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan.”





DAFTAR PUSTAKA

IlfiNur Diana, Hadis-hadisEkonomi, (Malang: UIN Maliki Press, 2012)
Kementerian Agama Republik Indonesia DrektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam DirektoratPemberdayaanWakaf, PanduanPengelolaanWakafTunai, (Jakarta: DirekturPemerdayaanWakaf, 2013), 2-3
Mardani, AspekHukumLembagaKeuanganSyariah di Indonesia, (Jakarta:Prendamedia Group, 2015)
Mustafa Edwin Nasution, PengenalanEksklusifEkonomi Islam, (Jakarta:Prenada Media Group,2006)
Sarip Muslim, AkuntansiKeuanganSyariahTeoridanPraktik, (Bandung: CV PustakaSetia, 2015)
NurRianto al-Arif, LembagaKeuanganSyariah: UntukKajianTeoritisPraktisi, (Bandung: CV PustakaSetia, 2012)
AdriSoemitra,  Bank Dan LembagaKeuanganSyariah, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2009)





[1]Lembaga keuangan syariah
[2] Metodologi fiqih muamalah

[4]IlfiNur Diana, Hadis-hadisEkonomi, (Malang: UIN Maliki Press, 2012), 105-106
[5]Kementerian Agama Republik Indonesia DrektoratJenderalBimbinganMasyarakat Islam DirektoratPemberdayaanWakaf, PanduanPengelolaanWakafTunai, (Jakarta: DirekturPemerdayaanWakaf, 2013), 2-3
[6]Mardani, AspekHukumLembagaKeuanganSyariah di Indonesia, (Jakarta:Prendamedia Group, 2015), 304
[7]Mustafa Edwin Nasution, PengenalanEksklusifEkonomi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,2006), 217.
[8]Sarip Muslim, AkuntansiKeuanganSyariahTeoridanPraktik,(Bandung: CV PustakaSetia, 2015), 391.
[9]NurRianto al-Arif, LembagaKeuanganSyariah: UntukKajianTeoritisPraktisi, (Bandung: CV PustakaSetia, 2012), 421.
[10]AdriSoemitra,  Bank Dan LembagaKeuanganSyariah, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), 448.








link file: DOWNLOAD

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Makalah customer relationship marketing

CUSTOMER RELATIONSHIP MARKETING Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pemasaran Bank Syariah pada program studi Ekonom...