Monday, May 28, 2018

Makalah mengenai management likuiditas dan instrumen likuiditas perbankan syariah


MANAJEMEN LIKUIDITAS DAN INSTRUMEN LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH

Resum ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Perbankan Syariah pada Program Studi Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu : Dzikrulloh, S.EI., M.SEI




Oleh:
Hera Mesy S.              150721100027
Niam Faizi P.A           150721100003
Nur Aysah                   150721100040
                 

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018

1.1  MANAJEMEN LIKUIDITAS
1.1.1 Pengertian Manajemen Likuiditas
Pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai, sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. Sedangakan pengertian likuiditas secara umum merupakan kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kewajibannya setiap saat.
Adapun yang dimaksud dengan manajemen likuiditas bank adalah suatu program pengendalian dari alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang harus segera dibayar. Dengan demikian, manajemen likuiditas adalah mengelola bagaimana bank dapat memenuhi kewajibannya, baik yang sekarang maupun yang akan datang, apabila terjadi penarikan atau pelunasan asset liabilitas yang sesuai dengan perjanjian atau yang belum diperjanjikan.
Secara garis besar manajemen likuiditas terdiri dari dua bagian, yaitu: pertama, memperkirakan kebutuhan dana, yang berasal dari penghimpunan dana dan untuk penyaluran dana dan berbagai komitmen pembiayaan. Bagian kedua dari manajemen likuiditas adalah, bagaimana bank bisa memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena itu, bank harus mampu mengidentifikasi karakteristik setiap produk bank baik disisi aktiva maupun pasiva serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kelebihan dan kekurangan likuiditas sama-sama memiliki dampak kepada bank. Jika bank terlalu konservatif mengelola likuiditas dalam pengertian terlalu besar memelihara likuiditas akan mengakibatkan profitabilitas bank menjadi rendah walaupun dari sisi liquidity shortage risk akan aman. Sebaliknya jika bank menganut pengelolaan likuiditas yang agresif maka cenderung akan dekat dengan shortage  liquidity risk akan tetapi memiliki kesempatan untuk memperoleh profit yang tinggi.
1.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas
      Likuiditas merupakan hal yang penting dalam bisnis perbankan. Sebab, likuiditas berkaitan dengan masalah kepercayaan masyarakat. Bank adalah bisnis yang dilandasi pada kepercayaan. Baik buruknya likuiditas bank dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun faktor dominannya apat dikelompokkan menjadi faktor eksternal dan faktor internal.
1.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang memengaruhi kondisi likuiditas bank syariah dapat didefinisikan sebagai berikut:
a.       Karakteristik Penabung
Faktor eksternal adalah berbagai hal yang terjadi di luar bank yang dapat mempengaruhi fund inflow. Sebagai contoh di Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia menunjukkan bahwa mereka sangat rasional dalam urusan bisnis walaupun menyadari nilai-nilai religius dalam transaksi keuangan. MUI telah mengharamkan bunga tetapi mereka tetap menyimpan uangnya di bank konvensional sepanjang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan bank syariah. Ini merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan jika bicara tentang manajemen likuiditas.
            Secara spesifik para deposan bank syariah memiliki pola perilaku menabung sebagai berikut:
1)      Menyimpan dalam instrumen tabungan jangka pendek sehingga bisa dicairkan kapan saja baik dengan penalti atau tanpa penalti.
2)      Untuk kepentingan jangka pendek dan lebih menutamakan keuntungan. Dalam kondisi ekonomi dimana suku bunga naik dan pasar uang yang volatile, mereka akan pindah ke bank konvensional atau pasar uang konvensional.
3)      Oleh karenanya banyak penabung di bank syariah juga tetap memelihara rekening tabugan di bank konvensional.
b.      Kondisi Ekonomi dan Moneter
Sebagai bagian dari sistem perekonomian, kondisi perekonomian secara umum sangat mempengaruhi kondisi likuiditas perbankan syariah. Pada saat tingkat inflasi tinggi yang ditandai dengan demand, otoritas moneter akan mengambil kebijakan kontraksi moneter dengan memainkan intrumen moneter seperti menaikkan tingkat suku bunga SBI. Akibatnya bank konvensional juga akan menaikkan tingkat suku bunga bungannya sehingga deposan yang memiliki mind-set rational akan menarik dananya dari bank syariah dan memindahkan ke bank konvensional. Bank konvensional lebih memilih feksibilitas dalam menyesuaikan returnnya dibandingkan dengan bank syariah. Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan di dalam menarik dana masyarakat tidak hanya datang dari bank sejenis (syariah) tetapi juga dari bank konvensional, terutama persaingan di dalam memperebutkan segmen deposan rasional.
Terkadang terjadi distorsi pasar di mana bank lebih memilih untuk menahan dananya atau menempatkan di instrumen keuangan yang aman seperti SBIS daripada menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan karena terjadi kelesuan disektor riel. Hal ini juga menyebabkan bank kelebihan likuiditas secara individual dan mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat profitabilitas yang tentu saja menimbulkan penurunan bagi hasil penyimpan dana di bank syariah.
c.       Persaingan antar Lembaga Keuangan
Persaingan antar lembaga keuangan juga memengaruhi likuiditas bank syariah. Pada saat bank syariah memberikan return yang rendah, para pemilik dana terutama para pemilik dana rasional akan mencari alternatif lain untuk mengoptimumkan return mereka. Berbagai lembaga keuangan seperti bank konvensional, lembaga keuangan bukan bank dan pasar uang dan modal merupakan pesaing yang harus diperhitungkan di dalam meperebutkan dana masyarakat. Bahkan fatwa haram  bunga bank menurut MUI dan Muhammadiyah baru-baru ini tidak mempengaruhi perbankan syariah dalam arti tidak terjadi perpindahan  dana yang signifikan ke bank syariah.
Presiden Direktur Karim Business Consulting Adiwarman karim mengatakan pasar yang digarap perbankan syariah masih terbatas. Masih pada level usaha kecil dan menengah, segmen korporasi sulit dijaring karena keterbatasan modal. Bahkan bank syariah sampai sekarang belum menggarap nasabah tabungan dan giro. Padahal nasabah kedua produk ini kebanyakan dari kalangan berduit. Produk bank syariah yang masih sederhana membuat golongan orang kaya ini sulit dijangkau.
2.      Faktor Internal
Faktor internal yang memengaruhi kondisi likuiditas bank syariah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a.       Manajemen Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuiditas ditentukan antara lain:
1)      Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan pertumbuhan dana termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana.
2)      Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana Profit Loss Sharing.
3)      Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.
Dalam mengantisipasi terjadiya risiko likuiditas, aktivitas manajemen risiko yang umumnya ditetapkan oleh bank antara lain adalah:
1)      Melakukan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah.
2)      Melaksanakan monitoring secara harian atas  dana yang masuk.
3)      Membuat analisis penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih saat ini.
4)      Melaksanakan kebijakan cash holding limit pada kantor kantor cabang bank.
5)      Mengatur struktur portofolio dana
6)      Mengadakan perjanjian credit line dengan lembaga keuangan lain.
b.      Pengelolaan Likuiditas
Pengelolaan likuiditas bank dimaksudkan untuk memenuhi tujuan dan terbentuknya likuiditas yang sehat. Tujuan manajemen likuiditas adalah untuk:
1)      Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
2)      Memenuhi kebutuhan dana mendesak
3)      Memuaskan permintaan nasabah akan pembiayaan
4)      Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan
5)      Menjaga posisi likuiditas bank agar mampu memenuhi rasio yang ditentukan bank sentral
6)      Meminimalkan idle fund (dana mengendap).
c.       Perencanaan Likuiditas
Melakukan analisis perencanaan likuiditas yaitu mengindentifikasi kebutuhan utama terhadap likuiditas kemudian membandingkan kebutuhan tersebut dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank pada saat itu. Analisis ini dilakukan dengan  tahap sebagai berikut:
1)      Tahap pertama:
Klasifikasi sumber-sumber dana utama bank berdasarkan tingkat kecepatan berputarnya. Kelompokkan dana yang sifatnya stabil atau tetap dan dana yang berfluktuasi.
2)      Tahap kedua:
Kelompokkan jenis aktiva yang likuid maupun yang tidak likuid.
3)      Tahap ketiga:
Bandingkan total aktiva lancar dengan dana yang dianggap berubah-ubah, apabila perbandingan tersebut hasilnya sama dengan satu berarti posisis kebutuhan likuiditas persis sama dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank saat itu.
4)      Tahap keempat:
Tentukan kebutuhan likuiditas bank yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor:
a)      Kewajiban reserve yang ditetapkan oleh bank sentral
b)      Kebutuhan dana operasional
c)      Rencana penyaluran pembiayaan
d)     Estimasi penarikan dana oleh nasabah
e)      Saldo minimum pada bank koresponden.
d.      Strategi Pengelolaan Likuiditas
Untuk mengantisispasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan dengan upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas, tingkat profitabilitas dan kepatuhan terhadap sistem syariah, bank syariah harus melakukan hal-hak:
1)      Menggiatkan pendidikan dan sosialisasi bank islam.
2)      Terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja bank syariah
3)      Memperbaaiki koordinasi, komunikasi dan pengertian dengan deposan/investor dan partner bisnis
4)      Mengidentifikasi berapa banyak deposan rational yang dimiliki bank.
5)      Membentuk satuan tugas atau tim khusus untuk memonitor mengevaluasi dan mendeteksi kemungkinan terjadinya kesulitan likuiditas yang akan menimpa bank
6)      Menyiapkan kas dan cadangan likuiditas untuk kondisi tertentu.
7)      Mendesain portofolio bank termasuk instrument yang likuid.

1.2  INSTRUMEN-INSTRUMEN LIKUIDITAS BANK SYARIAH
Dengan semakin berkembangnya perbankan syari’ah maka diperlukan ketentuan-ketentuan perbankan dan fasilitas bank sntral yang sesuai dengan prinsip syari;ah, karena kegiatan usaha bank syari;ah memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini dibutuhkan agar perbankan syari’ah dapat berperasi secara sehat serta dapat menjalankan prinsip-prinsip syari;ah secara benar.
Sebagai tindak lanjut pengembangan perbankan syari’ah, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa ketetntuan yang berkaitan dengan perbankan syari’ah yaitu:
1.2.1        Giro Wajib Minimum (GWM)
1.2.1.1 Pengertian Giro Wajib Minimum
Giro Wajib Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan presentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Giro Wajib Minimum ini merupakan kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dalam dan berperan pula sebagai instrument moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
1.2.1.2 Landasan Syariah Giro Wajib Minimum
Ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum bagi bank-bank berdasarkan prinsip syari’ah didasarkan pada landasan syari’ah sebagai berkut:
a.       Kaidah fiqih: “mashalih mursalah” yang artinya prinsip umum kemaslahatan. Kaidah ini memungkinkan dilaksanakannya kebijakan pengaturan bank umum kemaslahatan ekonomi secara keseluruhan.
b.      Kaidah fiqih: “tasharuful iman ‘alar ra’iyyah manuth bil mashlahah”, yang artinya tindakan pemegang otoritas harus mashlahat yang berlaku. Berdasarkan kaidah ini, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memiliki kewenangan membuat aturan prinsip kehati-hatian yang digunakan oleh bank syari’ah dalam kegiatan operasionalnya untuk tujuan kemaslahatan.
c.         Kaidah fiqih: “sadduz dzari’ah” yang artinya prinsip pencegahan dari kerusakan dan kaidah fiqih “Ta’zir” yaitu bentuk pengenaan sanksi. Kaidah ini memungkinkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk menerapkan sanksi bagi yang melanggar aturan Giro Wajib Minimum, guna mencegah dampak negative yang diakibatkan oleh pelanggaran Giro Wajib Minimum.
1.2.1.3 Pembukaan Rekening Giro pada Bank Indonesia
Kantor Pusat Bank yang berlokasi di wilayah Jabotabek wajib memelihara satu rekening giro di Kantor Pusat Bank Indonesia. Apabila kantor pusat bank tersebut berada di luar wilayah Jabotabek diwajibkan untuk memelihara satu rekening giro dalam rupiah di Kantor Bank Indonesia setempat.  Untuk bank devisa selain wajib memelihara rekening giro dalam rupiah juga wajib memelihara satu rekening giro dalam valuta asing.
Bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syari’ah (UUS) wajib memelihara dua rekening giro rupiah, masing-masing satu rekening untuk kantor pusat bank dan satu rekening untuk UUS. Bagi bank konvensional yang berstatus bank devisa dan memiliki UUS, maka selain diwajibkan memelihara dua rekening giro dalam rupiah tersebut, wajib pula memelihara dua rekening giro dalam valuta asing di Kantor Pusat Bank Indonesia. Penyetoran atau penarikan rekening giro dalam valuta asing dapat dilakukan dengan cara pemindah bukuan melalui bank koresponden di luar negeri.
1.2.1.4 Perhitungan Giro Wajib Minimum
            Giro Wajib Minimum merupakan rasio antara saldo giro dari seluruh kantor Bank yang tercatat pada Bank Indonesia setiap hari dengan rata-rata harian jumlah Dana Pihak Ketiga Bank. Karena informasi mengenai DPK baru diketahui dua minggu kemudian maka GWM pada masa laporan berlaku dibandingkan dengan jumlah rata-rata harian DPK dari masa laporan sebelumnya.
            Perhitungan ini berlaku baik untuk Giro Wajib Minimum dalam rupiah maupun dalam valuta asing.
            Rumus perhitungan Giro Wajib Minimum tersebut sebagai berikut:
            GWMRupiah = 5% x DPKt-2
            GWMValas   = 3% x DPKt-2
            Keterangan:
            GWM        = Giro Wajib Minimum
DPKt-2         = Rata- rata harian jumlah DPK Bank dalam satu masa   laporan unruk periode dua masa laporan lebelumnya.

Dana Pihak Ketiga bank yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh DPK dalam Rupiah maupun valuta asing pada kantor bank yang bersangkutan di Indonesia. DPK bank dalam rupiah meliputi kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari:
a.       Giro wadi’ah
b.      Tabungan mudharabah
c.       Deposito investasi mudharabah, dan
d.      Kewajiban lainnya.
DPK bank dalam rupiah ini tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat.
1.2.1.4 Penyampaian Laporan
Bank wajib menyampaikan laporan secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia mengenai DPK serta pos-pos aktiva dan pasiva dalam rupiah meupun valuta asing. Tata cara penyusunana dan penyampaian laporan dimaksud diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia menegnai pelaporan bank.
1.2.1.5 Sanksi
            Bank akan dikenakan sanksi apabila melakukan kelambanan penyampaian laporan, menyampaikan angka-angka yang tidak benar, melanggar Giro Wajib Minumum dan mengalami saldo giro negative pada Bank Indonesia.
1.2.1.6 Kelambatan Penyampaian Laporan dan Penyampaian Angka yang Tidak Benar
                                    Kelambatan penyampaian laporan dan penyampaian angka yang tidak benar dalam laporan mingguan bank akan dikenakan sanksi sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.28/10/UPPB tanggal 14 Desember 1995 tentang GWM Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valas, sebagai berikut:
                       
Jenis Pelanggaran
Sanksi Kewajiban Membayar
Keterlambatan penyampaian laporan mingguan bank termasuk koreksinya.
Rp2.500.000.00,- untuk setiap laporan.
Penyampaian angka yang tidak benar dalam laporan mingguan bank.
Rp250.000.00,- untuk setiap kesalahan dengan setinggi-tingginya Rp.10.000.000.00,-untuk setiap laporan.

1.2.2        Kliring
1.2.2.1 Pengertian Umum
Sebagaimana dimaklumi kantor pusat bank syariah dan kantor cabang wajib memiliki rekening giro pada kantor pusat Bank Indonesia atau kantor Bank Indonesia setempat dimana kantor bank syariah tersebut berada. Bank umum konvensional yang memiliki kantor cabang syariah wajib membuka rekening giro untuk kantor pusat bank konvensional dan kantor-kantor cabang konvensionalnya, serta rekening giro untuk unit usaha syariah dan kantor-kantor cabang syariah.
Ketentuan mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi bank umum yang berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan. Ketentuan yang berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah antara ain meliputi ukuran besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negative dan tata cara pengenaan sanksi untuk bank-bank yang bersaldo giro negatif.
1.2.2.2 Landasan Syari’ah
            Ketentuan mengenai keikutsertaan bank-bank berdasarkan prinsip syariah dalam kliring didasarkan pada landasan syariah sebagai berikut:
a.       Kaidah fiqih: “Man malaka syai’an malaka ma huwa min dharuratihi” yang artinya barang siapa memiliki sesuatu, maka ia harus berusaha mengikuti  apa yang menjadi kelaziman dan kebutuhan. Oleh karena itu untuk memudahkan bank-bank syariah melakukan kegiatan usahanya maka bank tersebut perlu kegiatan kliring seperti kelaziman yang dilakukan oleh bank umum lainnya.
b.      Kaidah fiqih: “Ar-ridha bisysyai ridhan bima yatarattabu minhu” artinya bila mana kita menerima suatu pilihan maka harus pula menerima konsekuensi pilihan tersebut. Ketentuan mengenai pemisahan rekening giro untuk kantor bank syariah dari rekening giro bank konvensional adalah suatu konsekuensi dari kaidah fiqih agar giro milik bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak tercampur dengan dana  pada giro bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Di samping itu bank syariah yang telah mengikuti kliring wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku.
c.       Kaidah fiqih: “Saddudz dzari’ah” yang artinya prinsip pencegahan dari kerusakan. Hal ini memungkinkan Bank Indonesia menerapkan sanksi penghentian bank sebagai peserta kliring guna mencegah terganggunya sistem pembayaran dan sistem perbankan.
1.2.2.3 Cara dan Persyaratan Peserta Kliring
            Pada dasarnya persyaratan dan tata cara peserta kliring untuk kantor cabang syariah dari bank umum konvensional diperlakukan sama dengan bank umum. Untuk menjadi peserta kliring, kantor cabang syariah dapat berstatus sebagai Peserta Langsung atau Peserta Tidak Langsung. Peserta Langsung adalah peserta kliring yang dalam pelaksanaan kliring lokal dapat memperhitungkan warkat-warkat kliring dengan menggunakan identitas sendiri. Sedangkan Peserta Tidak Langsung adalah peserta yang turut serta dalam pelaksanaan kliring lokal melalui Peserta langsung yang menjadi induknya dari bank yang sama.
            Persyaratan dan tata cara untuk menjadi peserta kliring sebagaimana tersebut di atur dalam ketentuan mengenai penyelenggaraan kliring local sesuai dengan masing-masing sistem kliring yang digunakan. Seperti diketahui penyelenggaraan kliring local di Indonesia menggunakan sistem kliring, yang terdiri dari Manual, Semi otomatis, Otomatis dan Elektronik.
1.2.2.4 Penghentian Sebagai Peserta Kliring
            Dengan diberikannya kesempatan bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan membuka rekening giro yang terpisah dari rekening giro bank konvensional perlu penyempurnaan ketentuan mengenai penghentian sebagai peserta kliring atau skorsing kliring.
            Dasar pertimbangan dalam melakukan penyempurnaan ketentuan tersebut adalah kantor cabang syariah dari suatu bank umum merupakan sualu legal entity (wihdah qanuniah) dari institusinya. Dengan mempertimbangkan hal tersebut dipandang perlu penyesuaian mengenai definisi giro negatif yang membedakan dengan definisi saldo giro negatif pada bank konvensional atau bank syariah secara murni. Pengertian saldo giro negatif pada bank umum konvensional yang memiliki kantor cabang syariah sebagai berikut:
a.       Kantor pusat bank dinyatakan memiliki saldo giro negatif apabila penjumlahan saldo rekening giro Knator Pusat Bank dan saldo rekening giro UUS pada Bank Indonesia yang mewilayahi kliring lokal menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akuntansi.
b.      Kantor cabang dinyatakan memiliki saldo giro negatif apabila penjumlahan saldo rekening giro kantor cabang bank konvensional dan saldo rekening giro kantor cabang syariah pada Bank Indonesia yang mewilayahi kliring lokal menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting.
Bilamana terjadi saldo giro negatif seperti tersebut di atas pada:
a.       Kantor pusat bank, maka semua kantor bank baik yang melakukan kegiatan konvensional maupun syariah di seluruh Indonesia dari bank yang bersangkutan, dihentikan keikutsertaannya dalam kliring.
b.      Kantor cabang bank, maka semua kantor baik kantor cabang konvensional maupun kantor cabang syariah yang berlokasi pada wilayah kantor Bank Indonesia setempat dari bank yang bersangkutan, dihentikan keikutsertaannya dalam kliring.
1.2.3        Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
1.2.3.1  Pengertian Umum
Bank yang berfugsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan pengguna dana dapat berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerima dan penanam dana, sedangkan kelebihan likuiditas dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.
Dalam rangka peningkatan pengelolaan dana bank, yaitu pengelolaan kelebihan dan kekurangan dana, perlu diselenggarakan Pasar Uang Antarbank. Agar bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dapat juga mengelola kelebihan dan kekurangan dana secara efisien, maka diperlukan Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan menggunakan piranti yang seuai dengan prinsip syariah.
1.2.3.2  Landasan Syariah
Ketentuan mengenai Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah didasarkan pada landasan syariah sebagai berikut:
a.       Kaidah fikih: “Al-ashlu fil asyya’ wal mu’amalat al-ibahah illa an yadullad dalil ‘ala tahrimihi”, yang artinya segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bahwa penyelenggaraan pasar uang antarbank tidak dilarang sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b.      Kaidah fikih: “Wa inisytara ahadusyarikaini hishata syarikihi jaza liannahu yashtari milka ghairihi”, yang artinya jika salah seorang dari yang bermitra membeli bagian mitranya dalam kemitraan tersebut, hukumnya boleh, karena ia membeli hak milik orang lain. Kaidah ini dapat dijadikan rujukan diperkenakannya penerbitan sertifikat IMA, yang mewakili kepemilikan aset bagi bank penanam dana aset ini dapat diperjualbelikan.
c.         Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275: “ Wa ahallallahu bai’a wa harramarriba”, yang artinya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ayat ini menjadi rujukan bagi bank syariah untuk melakukan jual beli aset yang diwakili oleh sertifikat IMA. Sebagai sarana terlaksanakannya jual beli sertifikat IMA maka diperlukan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah.
1.2.3.3  Peserta Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
Peserta PUAS adalah bank-bank yang menerbitkan Sertifikat IMA dan bank-bank yang menanamkan dana pada Sertifikat IMA.
           Bank Penerbit Sertifikat IMA:
a.       Kantor Pusat Bank Syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
b.      Unit Usaha Syariah (UUS) yaitu, kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Bank Penanam Dana pada Sertifikat IMA:
a.       Kantor Pusat Bank Syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
b.      Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
c.       Kantor Pusat Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
1.2.3.4  Mekanisme dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat IMA diteerbitkan rangkap tiga:
a.       Lembar kerja sli diserahkan kepada pihak bank penanam dana sertifikat IMA.
b.      Lembar kedua digunakan oleh bank penanam dana sebagai lampiran pada nota kredit bilyet giro Bank Indonesia atau transfer dana secara elektronis.
c.       Lembar ketiga digunakan sebagai arsip bagi bank penerbit.
Bank penenam dana pada Sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada bank penerbit dengan menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia atau tranfer dana secara elektronis, disertai tembusan Sertifikat IMA.
Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh pihak bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada bank lain sampai dengan berakhirnya jangka waktu. Agar bank penerbit Sertifikat IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, maka bank pemegang sertifikat yang terakhir wajib memberitahukan kepemilikan sertifikat tersebut kepada bank penerbit.
Pada saat Sertifikat IMA jatuh tempo, penyelesaian transaksi dilakukan oleh bank penerbit dengan melakukan pembayaran kepada bank pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal investasi, sedangkan imbalan dibayar pada awal berikutnya. Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredi melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia atau tranfer daana secara elektronis.
1.2.4        Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)
1.2.4.1  Umum
Selama ini kebijakan moneter yang dilakuka oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian uag beredar ditempuh dengan pelaksanaan operasi pasar terbuka, yaitu menambah atau mengurangu jumlah uang beredar dimasyarakat melalui bank-bank konvensional. Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka pengendalian uang dapat diperluar melalui bank- bank tersebut.
Agar pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan suatu piranti pengendalian uang beredar yang sesuai dengan prinsip syariah dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI). Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek khususnya bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas.
1.2.4.2  Landasan Syariah
Ketentuan mengenai Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia didasarkan pada landasan syariah sebagai berikut:
a.       Kaidah fikih: “Tahsarruful imam ‘alar ra’iyyah manuth bil mashlahah”, yang artinya tindakan pemegang otoritas harus mengikuti mashlahah yang berlaku. Kaidah ini memberikan wewenang kepada Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk membuat aturan yang digunakan oleh bank syariah dalam legiatan operasionalnya.
b.      Piranti yang digunakan dalam OPT perbankan syariah adalah Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) yang menggunaka prinsip titipan. Prinsip titipan boleh dalam syariah berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283: “Fa in amina ba’dhukum ba’dha fal yuaddilladzi’ tumina amaanatahu walyattaqillaha rabbahu” yang artinya: “Jika sebagaian kamu mempercayai sebagaian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya”. Dalam trasaksi wadi’ah yad dhamanah Bank Indonesia memperoleh manfaat penerbitan SWBI sebagai piranti pengendalian uang beredar sehingga dapat memberikan bonus sepanjang tidak diperjanjikan sebelumnya.
1.2.4.3  Jumlah Dana dan Jangka Waktu
Jumlah dana yang dapat dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupuah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Jangka waktu SWBI adalah satu minggu, dua minggu dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumah hari.
1.2.4.4  Tata Cara Penitipan dana dan Penyelesaian Penitipan Dana
Kegiatan penerimaan titipan dana oleh Bank Indonesia dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB. Tata cara penitipan dilakukan sebagai berikut:
a.       Bank atau UUS mengajukan permohonan titipan dana sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), faksimili, telepon atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b.      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Di atas wajib ditegaskan secara tertulis dengan Surat Penegasan Transaksi Penitipan Dana (SPTP) selambat-labatnya pukul 15.00 WIB.
Bagi bank atau UUS yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek. Bagi bank atau UUS yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek, SPTP dimaksud disampaikan kepada alamat di atas melalui kantor Bank Indonesia setempat.
Persetujuan Bank Indonesia atas Bank atau UUS yang dapat menitipkan dananya dilakukan dengan memberitahukannya melalui RMDS, telepon yang ditegaskan dengan faksimili atau sarana lain yang ditetapkan selambat-lambatnya pukul 15.00 WIB. Bank Indonesia akan mengumumkan secara luas jumlah keseluruhan penitipan dana sesuai dengan jangka waktu penitipan dana melalui PIPU, Reuters, Telerate selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
1.2.4.5  Tata Cara penyelesaian Transaksi
Tata cara penyelesaian transaksi penitipan dana adalah sebagai berikut:
a.       Penyelesain transaksi penitipan dana dilakukan pada hari kerja yang sama.
b.      Penyelesaian transaksi penitipan dana yang permohonannya disetujui oleh Bank Indonesia dilakukan dengan mendebit rekening giro Bank atau UUS sebesar nilai titipan dana.
c.       Pada saat jatuh waktu penitipan dana, Bank Indonesia akan mengredit rekening giro Bank atau UUS sebesar nilai titipan dana.
d.      Bank Indonesia dapat memberikan bonus kepada Bank atau UUS pada saat jatuh waktu penitipan dana dengan cara mengredit rekening giro bank.
e.       Dalam hal tidak terjadi transaksi PUAS pada tanggal penitipan dana, maka perhitungan bonus didasarkan pada tingkat indikasi imbalan PUAS terakhir atau rata-rata tingkat imbalan deposito investasi mudharabah.
1.2.4.6  Sanksi
Dalam transaksi penitipan dana, Bank atau UUS dapat dikenakan sanksi apabila:
a.       Saldo rekening giro Bank atau UUS tidak mencukupi untuk menyelesaikan transaksi, sehingga transaksi penitipan dan dibatalkan, Bank atau UUS dikenakan sanksi administrasi berupa surat peringatan.
b.      Pembatalan transaksi penitipan dana lebih dari dua kali dalam kurun waktu enam bulan, maka atas pembatalan yang ketiga dan seterusnya Bank atau UUS dikenakan sanksi sebagaimana pada huruf a. Dan dikenakan pula sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1% dari keuntungan transaksi.
c.       Bank atau UUS mengambil titipan dana sebelum jatuh waktu, tidak diberikan bonus dan dikenakan sanksi membayar biaya administrasi.


Link file: DOWNLOAD

Featured Post

Makalah customer relationship marketing

CUSTOMER RELATIONSHIP MARKETING Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pemasaran Bank Syariah pada program studi Ekonom...