MANAJEMEN LIKUIDITAS DAN INSTRUMEN
LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH
Resum ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Perbankan Syariah pada Program Studi Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu : Dzikrulloh, S.EI., M.SEI
Oleh:
Hera Mesy S. 150721100027
Niam Faizi P.A 150721100003
Nur Aysah 150721100040
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018
1.1 MANAJEMEN LIKUIDITAS
1.1.1 Pengertian Manajemen Likuiditas
Pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih
kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva,
likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai,
sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi
kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. Sedangakan pengertian
likuiditas secara umum merupakan kemampuan manajemen bank dalam menyediakan
dana yang cukup untuk memenuhi kewajibannya setiap saat.
Adapun yang dimaksud dengan manajemen
likuiditas bank adalah suatu program pengendalian dari alat-alat likuid yang
mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang harus segera dibayar.
Dengan demikian, manajemen likuiditas adalah mengelola bagaimana bank dapat
memenuhi kewajibannya, baik yang sekarang maupun yang akan datang, apabila
terjadi penarikan atau pelunasan asset liabilitas yang sesuai dengan perjanjian
atau yang belum diperjanjikan.
Secara garis besar manajemen likuiditas
terdiri dari dua bagian, yaitu: pertama, memperkirakan kebutuhan dana,
yang berasal dari penghimpunan dana dan untuk penyaluran dana dan berbagai
komitmen pembiayaan. Bagian kedua dari manajemen likuiditas adalah,
bagaimana bank bisa memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena itu, bank
harus mampu mengidentifikasi karakteristik setiap produk bank baik disisi
aktiva maupun pasiva serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kelebihan dan kekurangan likuiditas
sama-sama memiliki dampak kepada bank. Jika bank terlalu konservatif mengelola
likuiditas dalam pengertian terlalu besar memelihara likuiditas akan
mengakibatkan profitabilitas bank menjadi rendah walaupun dari sisi liquidity
shortage risk akan aman. Sebaliknya jika bank menganut pengelolaan
likuiditas yang agresif maka cenderung akan dekat dengan shortage liquidity risk akan tetapi memiliki
kesempatan untuk memperoleh profit yang tinggi.
1.1.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Likuiditas
Likuiditas
merupakan hal yang penting dalam bisnis perbankan. Sebab, likuiditas berkaitan
dengan masalah kepercayaan masyarakat. Bank adalah bisnis yang dilandasi pada
kepercayaan. Baik buruknya likuiditas bank dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun faktor dominannya apat dikelompokkan menjadi faktor
eksternal dan faktor internal.
1.
Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal yang memengaruhi kondisi likuiditas bank syariah dapat didefinisikan
sebagai berikut:
a.
Karakteristik
Penabung
Faktor
eksternal adalah berbagai hal yang terjadi di luar bank yang dapat mempengaruhi
fund inflow. Sebagai contoh di Indonesia sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia menunjukkan bahwa mereka sangat rasional dalam urusan
bisnis walaupun menyadari nilai-nilai religius dalam transaksi keuangan. MUI
telah mengharamkan bunga tetapi mereka tetap menyimpan uangnya di bank
konvensional sepanjang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan bank
syariah. Ini merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan jika bicara
tentang manajemen likuiditas.
Secara spesifik
para deposan bank syariah memiliki pola perilaku menabung sebagai berikut:
1)
Menyimpan
dalam instrumen tabungan jangka pendek sehingga bisa dicairkan kapan saja baik
dengan penalti atau tanpa penalti.
2)
Untuk
kepentingan jangka pendek dan lebih menutamakan keuntungan. Dalam kondisi
ekonomi dimana suku bunga naik dan pasar uang yang volatile, mereka akan
pindah ke bank konvensional atau pasar uang konvensional.
3)
Oleh
karenanya banyak penabung di bank syariah juga tetap memelihara rekening
tabugan di bank konvensional.
b.
Kondisi
Ekonomi dan Moneter
Sebagai bagian
dari sistem perekonomian, kondisi perekonomian secara umum sangat mempengaruhi
kondisi likuiditas perbankan syariah. Pada saat tingkat inflasi tinggi yang
ditandai dengan demand, otoritas moneter akan mengambil kebijakan
kontraksi moneter dengan memainkan intrumen moneter seperti menaikkan tingkat
suku bunga SBI. Akibatnya bank konvensional juga akan menaikkan tingkat suku
bunga bungannya sehingga deposan yang memiliki mind-set rational akan menarik
dananya dari bank syariah dan memindahkan ke bank konvensional. Bank
konvensional lebih memilih feksibilitas dalam menyesuaikan returnnya
dibandingkan dengan bank syariah. Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan di
dalam menarik dana masyarakat tidak hanya datang dari bank sejenis (syariah)
tetapi juga dari bank konvensional, terutama persaingan di dalam memperebutkan
segmen deposan rasional.
Terkadang
terjadi distorsi pasar di mana bank lebih memilih untuk menahan dananya atau
menempatkan di instrumen keuangan yang aman seperti SBIS daripada menyalurkannya
dalam bentuk pembiayaan karena terjadi kelesuan disektor riel. Hal ini juga
menyebabkan bank kelebihan likuiditas secara individual dan mengakibatkan
terjadinya penurunan tingkat profitabilitas yang tentu saja menimbulkan
penurunan bagi hasil penyimpan dana di bank syariah.
c.
Persaingan
antar Lembaga Keuangan
Persaingan
antar lembaga keuangan juga memengaruhi likuiditas bank syariah. Pada saat bank
syariah memberikan return yang rendah, para pemilik dana terutama para
pemilik dana rasional akan mencari alternatif lain untuk mengoptimumkan return
mereka. Berbagai lembaga keuangan seperti bank konvensional, lembaga keuangan
bukan bank dan pasar uang dan modal merupakan pesaing yang harus diperhitungkan
di dalam meperebutkan dana masyarakat. Bahkan fatwa haram bunga bank menurut MUI dan Muhammadiyah
baru-baru ini tidak mempengaruhi perbankan syariah dalam arti tidak terjadi
perpindahan dana yang signifikan ke bank
syariah.
Presiden
Direktur Karim Business Consulting Adiwarman karim mengatakan pasar yang digarap
perbankan syariah masih terbatas. Masih pada level usaha kecil dan menengah,
segmen korporasi sulit dijaring karena keterbatasan modal. Bahkan bank syariah
sampai sekarang belum menggarap nasabah tabungan dan giro. Padahal nasabah
kedua produk ini kebanyakan dari kalangan berduit. Produk bank syariah yang
masih sederhana membuat golongan orang kaya ini sulit dijangkau.
2.
Faktor
Internal
Faktor internal yang memengaruhi kondisi likuiditas bank syariah
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a.
Manajemen
Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan
akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya
berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya
risiko likuiditas ditentukan antara lain:
1)
Kecermatan
dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan
pertumbuhan dana termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana.
2)
Ketepatan
dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana Profit Loss Sharing.
3)
Kemampuan
menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk
fasilitas lender of last resort.
Dalam mengantisipasi terjadiya risiko likuiditas, aktivitas
manajemen risiko yang umumnya ditetapkan oleh bank antara lain adalah:
1)
Melakukan
monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh
nasabah.
2)
Melaksanakan
monitoring secara harian atas dana yang
masuk.
3)
Membuat
analisis penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan
membandingkannya dengan penarikan dana bersih saat ini.
4)
Melaksanakan
kebijakan cash holding limit pada kantor kantor cabang bank.
5)
Mengatur
struktur portofolio dana
6)
Mengadakan
perjanjian credit line dengan lembaga keuangan lain.
b.
Pengelolaan
Likuiditas
Pengelolaan likuiditas bank dimaksudkan untuk memenuhi tujuan dan
terbentuknya likuiditas yang sehat. Tujuan manajemen likuiditas adalah untuk:
1) Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
2) Memenuhi kebutuhan dana mendesak
3) Memuaskan permintaan nasabah akan
pembiayaan
4) Memberikan fleksibilitas dalam meraih
kesempatan investasi menarik yang menguntungkan
5) Menjaga posisi likuiditas bank agar mampu
memenuhi rasio yang ditentukan bank sentral
6) Meminimalkan idle fund (dana
mengendap).
c. Perencanaan Likuiditas
Melakukan analisis perencanaan likuiditas yaitu mengindentifikasi
kebutuhan utama terhadap likuiditas kemudian membandingkan kebutuhan tersebut
dengan jumlah aktiva lancar yang dimiliki bank pada saat itu. Analisis ini
dilakukan dengan tahap sebagai berikut:
1) Tahap pertama:
Klasifikasi sumber-sumber dana utama bank
berdasarkan tingkat kecepatan berputarnya. Kelompokkan dana yang sifatnya
stabil atau tetap dan dana yang berfluktuasi.
2) Tahap kedua:
Kelompokkan jenis aktiva yang likuid maupun
yang tidak likuid.
3) Tahap ketiga:
Bandingkan total aktiva lancar dengan dana
yang dianggap berubah-ubah, apabila perbandingan tersebut hasilnya sama dengan
satu berarti posisis kebutuhan likuiditas persis sama dengan jumlah aktiva
lancar yang dimiliki bank saat itu.
4) Tahap keempat:
Tentukan kebutuhan likuiditas bank yang biasanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor:
a) Kewajiban reserve yang ditetapkan oleh bank
sentral
b) Kebutuhan dana operasional
c) Rencana penyaluran pembiayaan
d) Estimasi penarikan dana oleh nasabah
e) Saldo minimum pada bank koresponden.
d. Strategi Pengelolaan Likuiditas
Untuk mengantisispasi dan mengatasi masalah likuiditas dikaitkan dengan
upaya pengembangan bank syariah, tuntutan deposan, profesionalitas, tingkat
profitabilitas dan kepatuhan terhadap sistem syariah, bank syariah harus
melakukan hal-hak:
1) Menggiatkan pendidikan dan sosialisasi bank
islam.
2) Terus memperbaiki dan meningkatkan kinerja
bank syariah
3) Memperbaaiki koordinasi, komunikasi dan
pengertian dengan deposan/investor dan partner bisnis
4) Mengidentifikasi berapa banyak deposan
rational yang dimiliki bank.
5) Membentuk satuan tugas atau tim khusus
untuk memonitor mengevaluasi dan mendeteksi kemungkinan terjadinya kesulitan
likuiditas yang akan menimpa bank
6) Menyiapkan kas dan cadangan likuiditas
untuk kondisi tertentu.
7) Mendesain portofolio bank termasuk
instrument yang likuid.
1.2 INSTRUMEN-INSTRUMEN LIKUIDITAS BANK SYARIAH
Dengan semakin berkembangnya perbankan syari’ah maka diperlukan
ketentuan-ketentuan perbankan dan fasilitas bank sntral yang sesuai dengan
prinsip syari;ah, karena kegiatan usaha bank syari;ah memiliki perbedaan yang
mendasar dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini dibutuhkan agar
perbankan syari’ah dapat berperasi secara sehat serta dapat menjalankan
prinsip-prinsip syari;ah secara benar.
Sebagai tindak lanjut pengembangan perbankan syari’ah, Bank Indonesia
telah mengeluarkan beberapa ketetntuan yang berkaitan dengan perbankan syari’ah
yaitu:
1.2.1
Giro Wajib Minimum (GWM)
1.2.1.1 Pengertian Giro Wajib Minimum
Giro Wajib
Minimum adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank Indonesia yang
besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan presentase tertentu dari
Dana Pihak Ketiga (DPK). Giro Wajib Minimum ini merupakan kewajiban bank dalam
rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dalam dan berperan pula
sebagai instrument moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
1.2.1.2 Landasan Syariah Giro Wajib Minimum
Ketentuan mengenai Giro Wajib Minimum bagi
bank-bank berdasarkan prinsip syari’ah didasarkan pada landasan syari’ah
sebagai berkut:
a. Kaidah fiqih: “mashalih mursalah”
yang artinya prinsip umum kemaslahatan. Kaidah ini memungkinkan dilaksanakannya
kebijakan pengaturan bank umum kemaslahatan ekonomi secara keseluruhan.
b. Kaidah fiqih: “tasharuful iman ‘alar
ra’iyyah manuth bil mashlahah”, yang artinya tindakan pemegang otoritas
harus mashlahat yang berlaku. Berdasarkan kaidah ini, Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter memiliki kewenangan membuat aturan prinsip
kehati-hatian yang digunakan oleh bank syari’ah dalam kegiatan operasionalnya
untuk tujuan kemaslahatan.
c.
Kaidah fiqih: “sadduz dzari’ah” yang artinya prinsip pencegahan
dari kerusakan dan kaidah fiqih “Ta’zir” yaitu bentuk pengenaan sanksi.
Kaidah ini memungkinkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk
menerapkan sanksi bagi yang melanggar aturan Giro Wajib Minimum, guna mencegah
dampak negative yang diakibatkan oleh pelanggaran Giro Wajib Minimum.
1.2.1.3 Pembukaan Rekening Giro pada Bank Indonesia
Kantor Pusat Bank yang berlokasi di wilayah
Jabotabek wajib memelihara satu rekening giro di Kantor Pusat Bank Indonesia.
Apabila kantor pusat bank tersebut berada di luar wilayah Jabotabek diwajibkan
untuk memelihara satu rekening giro dalam rupiah di Kantor Bank Indonesia
setempat. Untuk bank devisa selain wajib
memelihara rekening giro dalam rupiah juga wajib memelihara satu rekening giro
dalam valuta asing.
Bank konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syari’ah (UUS) wajib memelihara dua rekening giro rupiah, masing-masing satu
rekening untuk kantor pusat bank dan satu rekening untuk UUS. Bagi bank
konvensional yang berstatus bank devisa dan memiliki UUS, maka selain
diwajibkan memelihara dua rekening giro dalam rupiah tersebut, wajib pula
memelihara dua rekening giro dalam valuta asing di Kantor Pusat Bank Indonesia.
Penyetoran atau penarikan rekening giro dalam valuta asing dapat dilakukan
dengan cara pemindah bukuan melalui bank koresponden di luar negeri.
1.2.1.4 Perhitungan Giro Wajib Minimum
Giro
Wajib Minimum merupakan rasio antara saldo giro dari seluruh kantor Bank yang
tercatat pada Bank Indonesia setiap hari dengan rata-rata harian jumlah Dana
Pihak Ketiga Bank. Karena informasi mengenai DPK baru diketahui dua minggu
kemudian maka GWM pada masa laporan berlaku dibandingkan dengan jumlah
rata-rata harian DPK dari masa laporan sebelumnya.
Perhitungan
ini berlaku baik untuk Giro Wajib Minimum dalam rupiah maupun dalam valuta
asing.
Rumus
perhitungan Giro Wajib Minimum tersebut sebagai berikut:
GWMRupiah
= 5% x DPKt-2
GWMValas = 3% x DPKt-2
Keterangan:
GWM = Giro Wajib Minimum
DPKt-2 = Rata- rata harian jumlah DPK Bank
dalam satu masa laporan unruk periode
dua masa laporan lebelumnya.
Dana Pihak Ketiga bank yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh DPK
dalam Rupiah maupun valuta asing pada kantor bank yang bersangkutan di
Indonesia. DPK bank dalam rupiah meliputi kewajiban kepada pihak ketiga bukan
bank yang terdiri dari:
a. Giro wadi’ah
b. Tabungan mudharabah
c. Deposito investasi mudharabah, dan
d. Kewajiban lainnya.
DPK bank dalam rupiah ini tidak termasuk
dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat.
1.2.1.4 Penyampaian Laporan
Bank wajib menyampaikan laporan secara
berkala dan benar kepada Bank Indonesia mengenai DPK serta pos-pos aktiva dan
pasiva dalam rupiah meupun valuta asing. Tata cara penyusunana dan penyampaian
laporan dimaksud diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia menegnai
pelaporan bank.
1.2.1.5 Sanksi
Bank
akan dikenakan sanksi apabila melakukan kelambanan penyampaian laporan,
menyampaikan angka-angka yang tidak benar, melanggar Giro Wajib Minumum dan
mengalami saldo giro negative pada Bank Indonesia.
1.2.1.6 Kelambatan Penyampaian Laporan dan
Penyampaian Angka yang Tidak Benar
Kelambatan
penyampaian laporan dan penyampaian angka yang tidak benar dalam laporan
mingguan bank akan dikenakan sanksi sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia
No.28/10/UPPB tanggal 14 Desember 1995 tentang GWM Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valas, sebagai berikut:
Jenis
Pelanggaran
|
Sanksi
Kewajiban Membayar
|
Keterlambatan penyampaian laporan
mingguan bank termasuk koreksinya.
|
Rp2.500.000.00,- untuk setiap laporan.
|
Penyampaian angka yang tidak benar dalam
laporan mingguan bank.
|
Rp250.000.00,- untuk setiap kesalahan
dengan setinggi-tingginya Rp.10.000.000.00,-untuk setiap laporan.
|
1.2.2
Kliring
1.2.2.1 Pengertian Umum
Sebagaimana dimaklumi kantor pusat bank syariah dan kantor cabang wajib
memiliki rekening giro pada kantor pusat Bank Indonesia atau kantor Bank
Indonesia setempat dimana kantor bank syariah tersebut berada. Bank umum konvensional
yang memiliki kantor cabang syariah wajib membuka rekening giro untuk kantor
pusat bank konvensional dan kantor-kantor cabang konvensionalnya, serta
rekening giro untuk unit usaha syariah dan kantor-kantor cabang syariah.
Ketentuan
mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi
bank umum yang berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan
tambahan. Ketentuan yang berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah antara
ain meliputi ukuran besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negative dan tata
cara pengenaan sanksi untuk bank-bank yang bersaldo giro negatif.
1.2.2.2 Landasan Syari’ah
Ketentuan
mengenai keikutsertaan bank-bank berdasarkan prinsip syariah dalam kliring
didasarkan pada landasan syariah sebagai berikut:
a. Kaidah fiqih: “Man malaka syai’an malaka
ma huwa min dharuratihi” yang artinya barang siapa memiliki sesuatu, maka
ia harus berusaha mengikuti apa yang
menjadi kelaziman dan kebutuhan. Oleh karena itu untuk memudahkan bank-bank
syariah melakukan kegiatan usahanya maka bank tersebut perlu kegiatan kliring
seperti kelaziman yang dilakukan oleh bank umum lainnya.
b. Kaidah fiqih: “Ar-ridha bisysyai ridhan
bima yatarattabu minhu” artinya bila mana kita menerima suatu pilihan maka
harus pula menerima konsekuensi pilihan tersebut. Ketentuan mengenai pemisahan
rekening giro untuk kantor bank syariah dari rekening giro bank konvensional
adalah suatu konsekuensi dari kaidah fiqih agar giro milik bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tidak tercampur dengan dana pada giro bank yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional. Di samping itu bank syariah yang telah mengikuti kliring
wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku.
c. Kaidah fiqih: “Saddudz dzari’ah”
yang artinya prinsip pencegahan dari kerusakan. Hal ini memungkinkan Bank
Indonesia menerapkan sanksi penghentian bank sebagai peserta kliring guna
mencegah terganggunya sistem pembayaran dan sistem perbankan.
1.2.2.3 Cara dan Persyaratan Peserta Kliring
Pada
dasarnya persyaratan dan tata cara peserta kliring untuk kantor cabang syariah
dari bank umum konvensional diperlakukan sama dengan bank umum. Untuk menjadi
peserta kliring, kantor cabang syariah dapat berstatus sebagai Peserta Langsung
atau Peserta Tidak Langsung. Peserta Langsung adalah peserta kliring yang dalam
pelaksanaan kliring lokal dapat memperhitungkan warkat-warkat
kliring dengan menggunakan identitas sendiri. Sedangkan Peserta Tidak Langsung
adalah peserta yang turut serta dalam pelaksanaan kliring lokal melalui Peserta
langsung yang menjadi induknya dari bank yang sama.
Persyaratan
dan tata cara untuk menjadi peserta kliring sebagaimana tersebut di atur dalam
ketentuan mengenai penyelenggaraan kliring local sesuai dengan masing-masing
sistem kliring yang digunakan. Seperti diketahui penyelenggaraan kliring local
di Indonesia menggunakan sistem kliring, yang terdiri dari Manual, Semi
otomatis, Otomatis dan Elektronik.
1.2.2.4 Penghentian Sebagai Peserta Kliring
Dengan
diberikannya kesempatan bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan membuka rekening giro
yang terpisah dari rekening giro bank konvensional perlu penyempurnaan
ketentuan mengenai penghentian sebagai peserta kliring atau skorsing kliring.
Dasar
pertimbangan dalam melakukan penyempurnaan ketentuan tersebut adalah kantor
cabang syariah dari suatu bank umum merupakan sualu legal entity (wihdah
qanuniah) dari institusinya. Dengan mempertimbangkan hal tersebut dipandang
perlu penyesuaian mengenai definisi giro negatif yang
membedakan dengan definisi saldo giro negatif pada bank konvensional atau bank syariah secara murni. Pengertian
saldo giro negatif pada bank umum konvensional yang memiliki kantor cabang
syariah sebagai berikut:
a.
Kantor
pusat bank dinyatakan memiliki saldo giro negatif apabila penjumlahan saldo
rekening giro Knator Pusat Bank dan saldo rekening giro UUS pada Bank Indonesia
yang mewilayahi kliring lokal menunjukkan angka negatif pada saat Bank
Indonesia menutup sistem akuntansi.
b.
Kantor
cabang dinyatakan memiliki saldo giro negatif apabila penjumlahan saldo
rekening giro kantor cabang bank konvensional dan saldo rekening giro kantor
cabang syariah pada Bank Indonesia yang mewilayahi kliring lokal menunjukkan
angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting.
Bilamana
terjadi saldo giro negatif seperti tersebut di atas pada:
a.
Kantor
pusat bank, maka semua kantor bank baik yang melakukan kegiatan konvensional
maupun syariah di seluruh Indonesia dari bank yang bersangkutan, dihentikan
keikutsertaannya dalam kliring.
b.
Kantor
cabang bank, maka semua kantor baik kantor cabang konvensional maupun kantor
cabang syariah yang berlokasi pada wilayah kantor Bank Indonesia setempat dari
bank yang bersangkutan, dihentikan keikutsertaannya dalam kliring.
1.2.3
Pasar
Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
1.2.3.1
Pengertian
Umum
Bank yang
berfugsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan pengguna dana dapat
berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas
umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerima dan penanam
dana, sedangkan kelebihan likuiditas dapat terjadi karena dana yang terhimpun
belum dapat disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.
Dalam rangka
peningkatan pengelolaan dana bank, yaitu pengelolaan kelebihan dan kekurangan
dana, perlu diselenggarakan Pasar Uang Antarbank. Agar bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dapat juga mengelola kelebihan dan
kekurangan dana secara efisien, maka diperlukan Pasar Uang Antarbank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan menggunakan piranti yang seuai dengan
prinsip syariah.
1.2.3.2
Landasan
Syariah
Ketentuan
mengenai Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah didasarkan pada
landasan syariah sebagai berikut:
a.
Kaidah
fikih: “Al-ashlu fil asyya’ wal mu’amalat al-ibahah illa an yadullad dalil
‘ala tahrimihi”, yang artinya segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan
sampai ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini dapat dijadikan rujukan bahwa
penyelenggaraan pasar uang antarbank tidak dilarang sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
b.
Kaidah
fikih: “Wa inisytara ahadusyarikaini hishata syarikihi jaza liannahu
yashtari milka ghairihi”, yang artinya jika salah seorang dari yang
bermitra membeli bagian mitranya dalam kemitraan tersebut, hukumnya boleh,
karena ia membeli hak milik orang lain. Kaidah ini dapat dijadikan rujukan
diperkenakannya penerbitan sertifikat IMA, yang mewakili kepemilikan aset bagi
bank penanam dana aset ini dapat diperjualbelikan.
c.
Al-Qur’an
surah Al-Baqarah ayat 275: “ Wa ahallallahu bai’a wa harramarriba”, yang
artinya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ayat ini
menjadi rujukan bagi bank syariah untuk melakukan jual beli aset yang diwakili
oleh sertifikat IMA. Sebagai sarana terlaksanakannya jual beli sertifikat IMA
maka diperlukan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah.
1.2.3.3
Peserta
Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
Peserta PUAS
adalah bank-bank yang menerbitkan Sertifikat IMA dan bank-bank yang menanamkan
dana pada Sertifikat IMA.
Bank Penerbit Sertifikat IMA:
a.
Kantor
Pusat Bank Syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah.
b.
Unit
Usaha Syariah (UUS) yaitu, kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari bank
umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Bank
Penanam Dana pada Sertifikat IMA:
a.
Kantor
Pusat Bank Syariah, yaitu bank yang seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah.
b.
Unit
Usaha Syariah (UUS), yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syariah dari
bank umum yang kantor pusatnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
c.
Kantor
Pusat Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
1.2.3.4
Mekanisme
dan Penyelesaian Transaksi
Sertifikat IMA diteerbitkan rangkap tiga:
a.
Lembar
kerja sli diserahkan kepada pihak bank penanam dana sertifikat IMA.
b.
Lembar
kedua digunakan oleh bank penanam dana sebagai lampiran pada nota kredit bilyet
giro Bank Indonesia atau transfer dana secara elektronis.
c.
Lembar
ketiga digunakan sebagai arsip bagi bank penerbit.
Bank penenam
dana pada Sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada bank penerbit dengan
menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia atau
tranfer dana secara elektronis, disertai tembusan Sertifikat IMA.
Pemindahtanganan
Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh pihak bank penanam dana pertama,
sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada
bank lain sampai dengan berakhirnya jangka waktu. Agar bank penerbit Sertifikat
IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, maka bank pemegang
sertifikat yang terakhir wajib memberitahukan kepemilikan sertifikat tersebut
kepada bank penerbit.
Pada saat
Sertifikat IMA jatuh tempo, penyelesaian transaksi dilakukan oleh bank penerbit
dengan melakukan pembayaran kepada bank pemegang sertifikat terakhir sebesar
nilai nominal investasi, sedangkan imbalan dibayar pada awal berikutnya.
Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredi melalui
kliring, bilyet giro Bank Indonesia atau tranfer daana secara elektronis.
1.2.4
Sertifikat
Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)
1.2.4.1
Umum
Selama ini
kebijakan moneter yang dilakuka oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian
uag beredar ditempuh dengan pelaksanaan operasi pasar terbuka, yaitu menambah
atau mengurangu jumlah uang beredar dimasyarakat melalui bank-bank
konvensional. Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah maka pengendalian uang dapat diperluar
melalui bank- bank tersebut.
Agar
pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat berjalan
dengan baik, maka perlu diciptakan suatu piranti pengendalian uang beredar yang
sesuai dengan prinsip syariah dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
(SWBI). Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek
khususnya bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas.
1.2.4.2
Landasan
Syariah
Ketentuan
mengenai Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia didasarkan pada landasan syariah
sebagai berikut:
a.
Kaidah
fikih: “Tahsarruful imam ‘alar ra’iyyah manuth bil mashlahah”, yang
artinya tindakan pemegang otoritas harus mengikuti mashlahah yang berlaku.
Kaidah ini memberikan wewenang kepada Bank Indonesia sebagai otoritas moneter
untuk membuat aturan yang digunakan oleh bank syariah dalam legiatan
operasionalnya.
b.
Piranti
yang digunakan dalam OPT perbankan syariah adalah Sertifikat Wadi’ah Bank
Indonesia (SWBI) yang menggunaka prinsip titipan. Prinsip titipan boleh dalam
syariah berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283: “Fa in amina
ba’dhukum ba’dha fal yuaddilladzi’ tumina amaanatahu walyattaqillaha rabbahu”
yang artinya: “Jika sebagaian kamu mempercayai sebagaian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Tuhannya”. Dalam trasaksi wadi’ah yad dhamanah Bank
Indonesia memperoleh manfaat penerbitan SWBI sebagai piranti pengendalian uang
beredar sehingga dapat memberikan bonus sepanjang tidak diperjanjikan
sebelumnya.
1.2.4.3
Jumlah
Dana dan Jangka Waktu
Jumlah dana
yang dapat dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupuah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). Jangka waktu SWBI adalah satu minggu, dua minggu dan satu bulan yang
dinyatakan dalam jumah hari.
1.2.4.4
Tata
Cara Penitipan dana dan Penyelesaian Penitipan Dana
Kegiatan
penerimaan titipan dana oleh Bank Indonesia dilakukan dari pukul 08.00 WIB
sampai dengan pukul 14.00 WIB. Tata cara penitipan dilakukan sebagai berikut:
a.
Bank
atau UUS mengajukan permohonan titipan dana sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), faksimili,
telepon atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b.
Permohonan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Di atas wajib ditegaskan secara tertulis
dengan Surat Penegasan Transaksi Penitipan Dana (SPTP) selambat-labatnya pukul
15.00 WIB.
Bagi bank atau UUS yang berkantor pusat di wilayah Jabotabek. Bagi
bank atau UUS yang berkantor pusat di luar wilayah Jabotabek, SPTP dimaksud
disampaikan kepada alamat di atas melalui kantor Bank Indonesia setempat.
Persetujuan Bank Indonesia atas Bank atau UUS yang dapat menitipkan
dananya dilakukan dengan memberitahukannya melalui RMDS, telepon yang
ditegaskan dengan faksimili atau sarana lain yang ditetapkan selambat-lambatnya
pukul 15.00 WIB. Bank Indonesia akan mengumumkan secara luas jumlah keseluruhan
penitipan dana sesuai dengan jangka waktu penitipan dana melalui PIPU, Reuters,
Telerate selambat-lambatnya pukul 16.00 WIB.
1.2.4.5
Tata
Cara penyelesaian Transaksi
Tata cara
penyelesaian transaksi penitipan dana adalah sebagai berikut:
a.
Penyelesain
transaksi penitipan dana dilakukan pada hari kerja yang sama.
b.
Penyelesaian
transaksi penitipan dana yang permohonannya disetujui oleh Bank Indonesia
dilakukan dengan mendebit rekening giro Bank atau UUS sebesar nilai titipan
dana.
c.
Pada
saat jatuh waktu penitipan dana, Bank Indonesia akan mengredit rekening giro
Bank atau UUS sebesar nilai titipan dana.
d.
Bank
Indonesia dapat memberikan bonus kepada Bank atau UUS pada saat jatuh waktu
penitipan dana dengan cara mengredit rekening giro bank.
e.
Dalam
hal tidak terjadi transaksi PUAS pada tanggal penitipan dana, maka perhitungan
bonus didasarkan pada tingkat indikasi imbalan PUAS terakhir atau rata-rata
tingkat imbalan deposito investasi mudharabah.
1.2.4.6
Sanksi
Dalam transaksi
penitipan dana, Bank atau UUS dapat dikenakan sanksi apabila:
a.
Saldo
rekening giro Bank atau UUS tidak mencukupi untuk menyelesaikan transaksi,
sehingga transaksi penitipan dan dibatalkan, Bank atau UUS dikenakan sanksi
administrasi berupa surat peringatan.
b.
Pembatalan
transaksi penitipan dana lebih dari dua kali dalam kurun waktu enam bulan, maka
atas pembatalan yang ketiga dan seterusnya Bank atau UUS dikenakan sanksi
sebagaimana pada huruf a. Dan dikenakan pula sanksi kewajiban membayar sebesar
0,1% dari keuntungan transaksi.
c.
Bank
atau UUS mengambil titipan dana sebelum jatuh waktu, tidak diberikan bonus dan
dikenakan sanksi membayar biaya administrasi.
Link file: DOWNLOAD
Link file: DOWNLOAD